Sunday, August 31, 2008

Tantangan Pengembangan Wisata Aceh
Di Tahun Kunjungan Indonesia 2008
*fadhli Ali
Tahun 2008 dicanangkan sebagai tahun kunjungan Indonesia (visit Indonesia year), pemerintah melalui kementerian pariwisata menargetkan ada kunjungan wisatawan manca Negara lebih dari 11 juta orang pada tahun ini, rupiah yang diperoleh di harapkan mencapai puluhan trilyun rupiah. Menyahuti hajatan nasional itu beberapa provinsi mengagas even dan mempromosikannya melalui berbagai media. Provinsi Sumatera Selatan mempromosikan diri dengan brand ; Visit Musi 2008. Mantan Bupati Solok, Gamawan Fauzi yang saat ini menjadi geubernur Sumatera Barat tak mau kalah, berbagai objek menarik di ranah Minang dipasarkan melalui media layar kaca. Aceh mencoba menarik minat melalui even “Diwana Cakradonya”.
Industri pariwisata (tourism) merupakan sektor yang menjanjikan untuk mendongkrak devisa. Beberapa negara sudah leading dari sisi rencana maupun aplikasi program pembangunan industri pariwisatanya, Kini mereka mendulang puluhan bahkan ratusan trilyun rupiah dari jasa wisata. Mesir memungut Pound dari objek sejarah, seperti bangunan peninggalan zaman mesir kuno. Sementara Peru, Costa Rica dan Brazil dengan sungai Amazon dan hutan alam tropisnya mengandalkan daya tarik alam.
Pembangunan industri Pariwisata bagaimanapun harus memperhatikan kecendrungan pasar atau minat wisatawan. Pilihan objek yang saat ini tengah di minati wisatawan pada abad ini cenderung (trend) ke wisata minat khusus ecotourism yaitu hutan hujan tropis (Tropical rain forest tourism). Indonesia, khususnya Aceh menyimpan potensi besar untuk mengeruk keuntungan dari trend wisata masyarakat international tersebut. Selain karena Aceh masih memiliki luas kawasan hutan yang relatif masih cukup luas juga karena isu hutan Aceh saat ini menukik nyaring ke dunia international terutama setelah pagelaran dunia tentang Global climate change di Bali beberapa waktu lalu.
Sayangnya, saat ini kemasan daya tarik objek alam yang tersembunyi dalam belantara Aceh belum dikemas secara profesional. Sejauh ini belum ada promosi tentang paket wisata alam yang terpromosikan secara lengkap. Objek alam apa, dilokasi mana, belum ada informasi besar biaya perjalanan maupun cara mengakses ke lokasi yang akan dikunjung.
Belum terlihat ada kreativitas dinas terkait maupun masyarakat pelaku wisata membuat rancang bangun dunia kepariwisataan Aceh, setidaknya hingga saat ini. Karena itu potensi yang ada belum memberikan manfaat secara siqnifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Sementara itu informasi objek yang dipasarkan melalui buku panduan dan informasi wisata Aceh tampak menoton, itu-itu juga.
Jika sepuluh tahun lalu seorang wisatawan pernah membolak balik lembar buku panduan wisata Aceh, maka pada saat buku terbaru yang dikeluarkan instansi terkait nyaris sama saja, objeknya Taman Putro Phang, Gunongan, Mesjid Raya, Makam Syiah Kuala, benteng-benteng di kawasan Aceh Besar.
Jika belajar dari Sabang dengan pulau Rubiah yang memikat dan banyak dikunjungi wisatawan mestinya perencana wisata di Nonggroe Aceh dapat memetik pelajaran. Mengapa Sabang di kunjungi ? jawabannya tentu karena alamnya. Pemandangan alam pesisir Pantai Barat-Selatan dan objek-objek alam di dataran tinggi Gayo meyimpan potensi yang tidak kalah dari Sabang, namun belum ‘ekploitasi’ untuk memancing masuknya wisatawan. Begitupun berkah yang tersisa dari reruntuhan gempa dan tsunami belum tergarap dengan baik untuk mengundang perhatian pelancong.
Guna memajukan pariwisata di Aceh di masa mendatang, dibutuhkan sebuah strategi pengembangan yang berlandaskan pada eksplorasi daya tarik hutan alam Aceh. Strategi ini klop (cune in) dengan kebijakan pemerintah menampilkan Aceh sebagai provinsi hijau atau Green Province. Strategi yang memungkinkan kelak Dollar akan mengalir deras seperti berjatuh dedaunan pohon di hutan alam Aceh yang untuh dari kekejaman penumbang. Income bagi daerah akan muncrat dari rasa teduh yang dinimati petualang (Adventure) saat berada di bawah dahan pohon yang menghijau dan riuh jeram yang bergemuruh dalam aliran sungai alas dan krueng Tripa. Gua-gua dan hamparan rerumputan menyerupai permadani yang ada di tengah bentang pegunungan Seulawah hingga wilayah perbatasan Sumatera Utara akan memercik kesejahteraan bagi masyarkat desa yang terlibat dalam kegiatan pelancong yang berdatangan.
Selain menjual daya tarik keunikan hutan, masih dalam latar (backround) alam pegunungan, Aceh menyimpan daya tarik dari wisata ritus perjalanan berupa penelusuran tempat-tempat yang pernah di jadikan markas gerilyawan. Selain bekas lokasi persembunyian gerilyawa Gerakan Aceh Merdeka (GAM), tempat persembunyian pejuang Darul Islam (DI) pun mengundang penjelajah wisata. Atraksi wisata jenis ini telah dikemas baik di Timor Leste dan berhasil menarik minat orang untuk mengunjunginya.
Pada saat bergerilya para gerilyawan memilih satu lokasi persembunyian tentu mempuyai satu pertimbangan khusus, jika bukan karena sulit dijangkau oleh musuh boleh jadi karena aman dari binatang buas atau mudah mengakses air serta sumber makanan. Boleh jadi karena satu tempat persembunyian merupakan lokasi paling menarik bagi mereka untuk menikmati keindahan alam. Namun tidak mungkin ada yang berminat, jika tidak ada pendokumentasian objek dengan narasi yang deskriptif dan menarik melalui brosur-brosur promosi.
**
Mencermati kebijakan pengelolaan hutan alam Aceh di yakini prospek pengembangan sangat prospektif. Kebijakan moratorium logging buah bibir tidak hanya dikalangan aktifis lingkungan, akademisi dan pengamat lokal tapi juga masyarakat internasional. Pencanangan Aceh sebagai Green Province yang di dukung beberapa donor kelas dunia seperti World Wide Found (WWF), Multi Donor Trust Fund (MDTF) serta World Bank sesungguhnya peluang untuk mendapatkan manfaat nyata dimana rakyat dapat menikmati kompensasi dari kesediaan mereka mendukung program konservasi.
Namun sekali lagi pada level implimentasi, masih jauh panggang dari api. Seperti yang tampak pada realitas miris yang disaksikan di depan Mapolda NAD. Teriakan rakyat di desa sekitar hutan Aceh Besar yang berdemo layak disebut sebagai suara menggugat kebijakan di level petinggi. “kami menebang kayu untuk menghidupi anak-istri” teriak warga di Mapolda NAD yang menuntut di bebaskan rekannya yang ditahan karena menebang kayu. Ekses dari peristiwa itu makin menarik perhatian, ternyata Fauzan Azima wakil ketua sterring commite Aceh Forest Environment Project (AFEP) mempertanyakan kegiatan beberapa NGO’s yang keciprat dana lingkungan.
Puluhan milyar dana di alokasikan untuk mendukung program konservasi dan kegiatan membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat yang berada disekitar hutan. Akan tetapi seperti yang dilansir media, mantan panglima GAM dataran tinggi Gayo itu mempertanyakan peruntukan dana lingkungan yang di kelola Flora Fauna International (FFI) di wilayah Banda Aceh dan Aceh Besar. Bagitupun, ia menyinggung peran Yayasan Ekosistem Leuser (YLI) yang juga mengelola dana serupa untuk program di sejumlah kabupaten di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Kebijakan tersebut tentu sangat strategis, namun bagi masyarakat desa sekitar hutan di Aceh ceramah soal penyelamatan lingkungan hidup tampak sebagai ancaman terhadap sumber kehidupannya. Karena selama ini ceramah yang didengar seringkali kabar yang menakutkan tentang akibat menebang kayu, tentang banjir, ancaman kekeringan dan tindak pidana terhadap pelaku illegal logging. Dengan mulut ternga-nga dalam diam masyarakat yang diceramahi bertanya “pekerjaan apa yang boleh kami lakukan di hutan?” yang lain mungin bertanya “apa pekerjaan lain bagi kami ?”. Seringkali sampai pertemuan bubar, pertanyaan mereka tidak terjawab. Jikapun ada statemen soal pekerjaan, seringkali dimuali dengan “akan, akan dan akan”, yang tidak kunjung ada kenyataan setelah bertahun-tahun.
Mestinya dimasa mendatang kegiatan pengelolaan lingkungan yang dilakukan NGO’s maupun pemerintah mengarah pada upaya membangun sebuah tatanan yang memungkinkan terujudnya industri pariwisata di Nanggroe Aceh Darussalam yang menempatkan masyarakat sebagai pelaku inti. Berkembangnya kegiatan ekowisata Aceh akan mendorong terbukanya lapangan kerja baru sebagai multiple effect, Hunian hotel meningkat, jasa guide, buruh angkat barang (porter) bertambah, termasuk berkembang home industri yang membuat berbagai cendera mata.
Pemanfaatan potensi hutan yang terpendam dari perspektif tourism itu pada akhirnya juga berdampak positif meningkatkan pendapatan masyarakat sudah menjadi kelaziman dan logis dalam teori ekonomi. Tumbuh jasa kepariwisataan akan menimbulkan multiplyer effect pada berbagai sektor ekonomi lain, dampaknya akan jauh lebih luas dari yang dapat disebut melalui tulisan singkat ini satu persatu.
Mestinya dalam tahun kunjungan Indonesia ini, Aceh sudah dapat menikmati syafaat dari hutan alamnya yaitu dengan menjual hutan tanpa menebang pohon atau menjual sesuatu tanpa kehilangan apapun. Maksudnya menjual hutan melalui jasa wisata akan mendatangkan devisa dalam jumlah besar, namun kedatangan wisatawan bukan untuk melihat pohon-pohon tumbang tapi sebaliknya ingin menyaksikan hutan alam tropis Aceh yang utuh, bahkan seringkali seorang wisatawan mengeluarkan dollar dikantong pribadinya untuk melindungi sebatang pohon atasnama dirinya.
Dunia belum berakhir, Aceh belum terlambat untuk memulai. Semoga gubernur provinsi Naggroe Aceh Darussalam mencanangkan tahun kunjungan hutan alam Aceh pada tahun depan, selain sebagai promosi untuk menarik wisawan dalam dan luar negeri mengunjungi Aceh bukankah Aceh juga perlu promosi perdamaian kepada masyarakat dunia. Maka kepala dinas Pariwisata Aceh, Mirza Fuadi mengatakan, “sekarang kendala pengembangan wisata Aceh sudah tidak lagi terkendala masalah keamanan….,” semoga !!.

*Pemerhati lingkungan, aktif di yayasan Aceh Ecotourism Society (Aecost)intul

No comments: