Sunday, August 31, 2008

Sepenggal kisah dipenghujung masa tugas

Saat menyusun laporan akhir tahun 2007 ini kami harus membuka kembali dokumen lama berupa foto visual kegiatan pertemuan yang dilakukan dengan berbagai pihak terutama warga korban. Membuka kembali data beneficeries yang dari waktu ke waktu mengalami perubahan hingga bulan Mei 2007. File-file pengiriman data ke Direktorat Prakarsa Pembangunan Partisipatif (PPP) yang terkirim melalui email setiap bulan ternyata sangat membantu.

Membolak-balik dokumen lama memunculkan kenangan dan perasaan tersendiri, terutama ketika membuka foto-foto pertemuan warga yang waktu itu sering sekali dilakukan pada malam hari. Untuk memacu realisasi kegiatan pendataan dan verifikasi, siang hari digunakan untuk melakukan pendataan door to door yang mirip pekerjaan manteri statistik. Apalagi di Aceh Barat Daya kerusakan akibat dampak gempa jauh lebih dominan dari tsunami, kerusakan bangunan akan dapat secara persis diketahui dengan cara meneliti sampai ke dalam rumah. Karenanya berjalan kaki door to door menjadi kebiasaan yang lumrah dilakukan sampai berbulan-bulan. Jadi dalam situasi demikian pilihan waktu terbaik untuk pertemuan warga dilakukan pada malam hari.

Setelah lebih setahun mengerjakan kegiatan pendataan akhirnya kami dapat juga memiliki kantor dan fasilitas yang memadai. Masa “kantor diatas roda” pun berakhir. Fasilitas ini tidak saja memudahkan Asperkim tapi juga memudahkan warga korban dalam mendapatkan pelayanan seperti menyampaikan berkas permohonan dan mendapatkan informasi mengenai program pemberian bantuan perumahan pasca gempa dan tsunami. Sebelumnya, warung kopi, kaki lima atau mobil adalah kantor bagi Asperkim dalam melaksanakan tugasnya.

Mengenang “road map” yang sudah dilalui selama hampir dua tahun, menjadi staff di garis depan dalam pendataan beneficeries di kedeputian perumahan, ketika mendapat kabar mengenai cara pimpinan di BRR NAD-Nias mengapresiasi hasil pendataan yang dilakukan kami menjadi terhenyuh. Pendataan dikatakan berjalan "lamban". Menurut mereka pendataan adalah suatu pekerjaan yang sederhana.
Namun karena kami sadar bahwa pandangan seperti itu muncul karena pimpinan hanya memahami sebatas tugas asperkim pokok sebagaimana yang tertuang dalam dokumen kontrak. Sementara pernak pernik masalah dalam pendataan hingga mendapatkan data final hasil verifikasi ternyata amat banyak yang harus diatasi dan tidak sederhana. Bila pendataan untuk pemberian bantuan perumahan dipersepsikan layaknya pekerjaan menyusun data statistik maka dapat di mengerti apresiasi terhadap hasil kerja direktorat PPP rendah dan terkadang malah disudutkan sebagai sumber kelambanan pembangunan rumah korban.

Telah banyak peristiwa yang menggelitik sekaligus memprihatinkan sebagai memori dan catatan sejarah berkaitan dengan program pemberian bantuan dhuafa atau “korban” salah urus pembangunan, Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (PER) maupun bantuan korban post konflik. Semua bermuara pada muncul masalah, protes dan demonstrasi dalam implimentasinya.

Mencermati dana bantuan yang berjumlah trilyunan dan jumlah unit bantuan perumahan yang disalurkan BRR untuk jumlah korban yang berjumlah ratusan ribu KK, maka kejadian demonstrasi, protes sekaligus hujatan yang dialamatkan kepada BRR masih kurang “kencang”. Padahal begitu banyak orang ingin memanfaatkan situasi untuk mendapatkan keuntungan langsung maupun tidak langsung. 1 (satu) unit rumah bantuan bernilai puluhan juta (60-an sampai 70-an juta) tentu membangkitkan hasrat mereka untuk memperoleh walaupun harus dilakukan dengan berbagaimacam tipu daya. Rusuh soal perumahan di BRR masih lebih rendah di banding peristiwa penyaluran dana kompensasi BBM yang hanya bernilai Rp 100.000 per KK. Begitu banyak demonstrasi dalam kasus itu dan banyak kepala desa yang dipukul dan rumahnya di datangi warga. Konon lagi dengan jumlah bantuan yang berjumlah puluhan juta yang disalurkan melalui program bantuan perumahan BRR NAD-Nias.

Sekalipun demikian tentu dalam proses pendataan yang dilakukan oleh Asperkim terdapat kelemahan dan kekurangan yang boleh jadi disebabkan adanya kelalaian maupun tuntutan keadaan dan situasi. Pemahaman terhadap konteks dan arus permasalahan psikologi sosial paska gempa/tsunami maupun konflik yang terjadi di Aceh yang lebih baik akan membantu untuk mendapatkan gambaran background wilayah jelajah terkait dengan pekerjaan pendataan yang dilakukan oleh Asperkim.

Looking for last minute shopping deals? Find them fast with Yahoo! Search.
hasEML = false;
Tantangan Pengembangan Wisata Aceh
Di Tahun Kunjungan Indonesia 2008
*fadhli Ali
Tahun 2008 dicanangkan sebagai tahun kunjungan Indonesia (visit Indonesia year), pemerintah melalui kementerian pariwisata menargetkan ada kunjungan wisatawan manca Negara lebih dari 11 juta orang pada tahun ini, rupiah yang diperoleh di harapkan mencapai puluhan trilyun rupiah. Menyahuti hajatan nasional itu beberapa provinsi mengagas even dan mempromosikannya melalui berbagai media. Provinsi Sumatera Selatan mempromosikan diri dengan brand ; Visit Musi 2008. Mantan Bupati Solok, Gamawan Fauzi yang saat ini menjadi geubernur Sumatera Barat tak mau kalah, berbagai objek menarik di ranah Minang dipasarkan melalui media layar kaca. Aceh mencoba menarik minat melalui even “Diwana Cakradonya”.
Industri pariwisata (tourism) merupakan sektor yang menjanjikan untuk mendongkrak devisa. Beberapa negara sudah leading dari sisi rencana maupun aplikasi program pembangunan industri pariwisatanya, Kini mereka mendulang puluhan bahkan ratusan trilyun rupiah dari jasa wisata. Mesir memungut Pound dari objek sejarah, seperti bangunan peninggalan zaman mesir kuno. Sementara Peru, Costa Rica dan Brazil dengan sungai Amazon dan hutan alam tropisnya mengandalkan daya tarik alam.
Pembangunan industri Pariwisata bagaimanapun harus memperhatikan kecendrungan pasar atau minat wisatawan. Pilihan objek yang saat ini tengah di minati wisatawan pada abad ini cenderung (trend) ke wisata minat khusus ecotourism yaitu hutan hujan tropis (Tropical rain forest tourism). Indonesia, khususnya Aceh menyimpan potensi besar untuk mengeruk keuntungan dari trend wisata masyarakat international tersebut. Selain karena Aceh masih memiliki luas kawasan hutan yang relatif masih cukup luas juga karena isu hutan Aceh saat ini menukik nyaring ke dunia international terutama setelah pagelaran dunia tentang Global climate change di Bali beberapa waktu lalu.
Sayangnya, saat ini kemasan daya tarik objek alam yang tersembunyi dalam belantara Aceh belum dikemas secara profesional. Sejauh ini belum ada promosi tentang paket wisata alam yang terpromosikan secara lengkap. Objek alam apa, dilokasi mana, belum ada informasi besar biaya perjalanan maupun cara mengakses ke lokasi yang akan dikunjung.
Belum terlihat ada kreativitas dinas terkait maupun masyarakat pelaku wisata membuat rancang bangun dunia kepariwisataan Aceh, setidaknya hingga saat ini. Karena itu potensi yang ada belum memberikan manfaat secara siqnifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Sementara itu informasi objek yang dipasarkan melalui buku panduan dan informasi wisata Aceh tampak menoton, itu-itu juga.
Jika sepuluh tahun lalu seorang wisatawan pernah membolak balik lembar buku panduan wisata Aceh, maka pada saat buku terbaru yang dikeluarkan instansi terkait nyaris sama saja, objeknya Taman Putro Phang, Gunongan, Mesjid Raya, Makam Syiah Kuala, benteng-benteng di kawasan Aceh Besar.
Jika belajar dari Sabang dengan pulau Rubiah yang memikat dan banyak dikunjungi wisatawan mestinya perencana wisata di Nonggroe Aceh dapat memetik pelajaran. Mengapa Sabang di kunjungi ? jawabannya tentu karena alamnya. Pemandangan alam pesisir Pantai Barat-Selatan dan objek-objek alam di dataran tinggi Gayo meyimpan potensi yang tidak kalah dari Sabang, namun belum ‘ekploitasi’ untuk memancing masuknya wisatawan. Begitupun berkah yang tersisa dari reruntuhan gempa dan tsunami belum tergarap dengan baik untuk mengundang perhatian pelancong.
Guna memajukan pariwisata di Aceh di masa mendatang, dibutuhkan sebuah strategi pengembangan yang berlandaskan pada eksplorasi daya tarik hutan alam Aceh. Strategi ini klop (cune in) dengan kebijakan pemerintah menampilkan Aceh sebagai provinsi hijau atau Green Province. Strategi yang memungkinkan kelak Dollar akan mengalir deras seperti berjatuh dedaunan pohon di hutan alam Aceh yang untuh dari kekejaman penumbang. Income bagi daerah akan muncrat dari rasa teduh yang dinimati petualang (Adventure) saat berada di bawah dahan pohon yang menghijau dan riuh jeram yang bergemuruh dalam aliran sungai alas dan krueng Tripa. Gua-gua dan hamparan rerumputan menyerupai permadani yang ada di tengah bentang pegunungan Seulawah hingga wilayah perbatasan Sumatera Utara akan memercik kesejahteraan bagi masyarkat desa yang terlibat dalam kegiatan pelancong yang berdatangan.
Selain menjual daya tarik keunikan hutan, masih dalam latar (backround) alam pegunungan, Aceh menyimpan daya tarik dari wisata ritus perjalanan berupa penelusuran tempat-tempat yang pernah di jadikan markas gerilyawan. Selain bekas lokasi persembunyian gerilyawa Gerakan Aceh Merdeka (GAM), tempat persembunyian pejuang Darul Islam (DI) pun mengundang penjelajah wisata. Atraksi wisata jenis ini telah dikemas baik di Timor Leste dan berhasil menarik minat orang untuk mengunjunginya.
Pada saat bergerilya para gerilyawan memilih satu lokasi persembunyian tentu mempuyai satu pertimbangan khusus, jika bukan karena sulit dijangkau oleh musuh boleh jadi karena aman dari binatang buas atau mudah mengakses air serta sumber makanan. Boleh jadi karena satu tempat persembunyian merupakan lokasi paling menarik bagi mereka untuk menikmati keindahan alam. Namun tidak mungkin ada yang berminat, jika tidak ada pendokumentasian objek dengan narasi yang deskriptif dan menarik melalui brosur-brosur promosi.
**
Mencermati kebijakan pengelolaan hutan alam Aceh di yakini prospek pengembangan sangat prospektif. Kebijakan moratorium logging buah bibir tidak hanya dikalangan aktifis lingkungan, akademisi dan pengamat lokal tapi juga masyarakat internasional. Pencanangan Aceh sebagai Green Province yang di dukung beberapa donor kelas dunia seperti World Wide Found (WWF), Multi Donor Trust Fund (MDTF) serta World Bank sesungguhnya peluang untuk mendapatkan manfaat nyata dimana rakyat dapat menikmati kompensasi dari kesediaan mereka mendukung program konservasi.
Namun sekali lagi pada level implimentasi, masih jauh panggang dari api. Seperti yang tampak pada realitas miris yang disaksikan di depan Mapolda NAD. Teriakan rakyat di desa sekitar hutan Aceh Besar yang berdemo layak disebut sebagai suara menggugat kebijakan di level petinggi. “kami menebang kayu untuk menghidupi anak-istri” teriak warga di Mapolda NAD yang menuntut di bebaskan rekannya yang ditahan karena menebang kayu. Ekses dari peristiwa itu makin menarik perhatian, ternyata Fauzan Azima wakil ketua sterring commite Aceh Forest Environment Project (AFEP) mempertanyakan kegiatan beberapa NGO’s yang keciprat dana lingkungan.
Puluhan milyar dana di alokasikan untuk mendukung program konservasi dan kegiatan membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat yang berada disekitar hutan. Akan tetapi seperti yang dilansir media, mantan panglima GAM dataran tinggi Gayo itu mempertanyakan peruntukan dana lingkungan yang di kelola Flora Fauna International (FFI) di wilayah Banda Aceh dan Aceh Besar. Bagitupun, ia menyinggung peran Yayasan Ekosistem Leuser (YLI) yang juga mengelola dana serupa untuk program di sejumlah kabupaten di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Kebijakan tersebut tentu sangat strategis, namun bagi masyarakat desa sekitar hutan di Aceh ceramah soal penyelamatan lingkungan hidup tampak sebagai ancaman terhadap sumber kehidupannya. Karena selama ini ceramah yang didengar seringkali kabar yang menakutkan tentang akibat menebang kayu, tentang banjir, ancaman kekeringan dan tindak pidana terhadap pelaku illegal logging. Dengan mulut ternga-nga dalam diam masyarakat yang diceramahi bertanya “pekerjaan apa yang boleh kami lakukan di hutan?” yang lain mungin bertanya “apa pekerjaan lain bagi kami ?”. Seringkali sampai pertemuan bubar, pertanyaan mereka tidak terjawab. Jikapun ada statemen soal pekerjaan, seringkali dimuali dengan “akan, akan dan akan”, yang tidak kunjung ada kenyataan setelah bertahun-tahun.
Mestinya dimasa mendatang kegiatan pengelolaan lingkungan yang dilakukan NGO’s maupun pemerintah mengarah pada upaya membangun sebuah tatanan yang memungkinkan terujudnya industri pariwisata di Nanggroe Aceh Darussalam yang menempatkan masyarakat sebagai pelaku inti. Berkembangnya kegiatan ekowisata Aceh akan mendorong terbukanya lapangan kerja baru sebagai multiple effect, Hunian hotel meningkat, jasa guide, buruh angkat barang (porter) bertambah, termasuk berkembang home industri yang membuat berbagai cendera mata.
Pemanfaatan potensi hutan yang terpendam dari perspektif tourism itu pada akhirnya juga berdampak positif meningkatkan pendapatan masyarakat sudah menjadi kelaziman dan logis dalam teori ekonomi. Tumbuh jasa kepariwisataan akan menimbulkan multiplyer effect pada berbagai sektor ekonomi lain, dampaknya akan jauh lebih luas dari yang dapat disebut melalui tulisan singkat ini satu persatu.
Mestinya dalam tahun kunjungan Indonesia ini, Aceh sudah dapat menikmati syafaat dari hutan alamnya yaitu dengan menjual hutan tanpa menebang pohon atau menjual sesuatu tanpa kehilangan apapun. Maksudnya menjual hutan melalui jasa wisata akan mendatangkan devisa dalam jumlah besar, namun kedatangan wisatawan bukan untuk melihat pohon-pohon tumbang tapi sebaliknya ingin menyaksikan hutan alam tropis Aceh yang utuh, bahkan seringkali seorang wisatawan mengeluarkan dollar dikantong pribadinya untuk melindungi sebatang pohon atasnama dirinya.
Dunia belum berakhir, Aceh belum terlambat untuk memulai. Semoga gubernur provinsi Naggroe Aceh Darussalam mencanangkan tahun kunjungan hutan alam Aceh pada tahun depan, selain sebagai promosi untuk menarik wisawan dalam dan luar negeri mengunjungi Aceh bukankah Aceh juga perlu promosi perdamaian kepada masyarakat dunia. Maka kepala dinas Pariwisata Aceh, Mirza Fuadi mengatakan, “sekarang kendala pengembangan wisata Aceh sudah tidak lagi terkendala masalah keamanan….,” semoga !!.

*Pemerhati lingkungan, aktif di yayasan Aceh Ecotourism Society (Aecost)intul
150 GEUCHIK ABDYA SUSUN STRATEGI KELOLA GAMPONG


BLANGPIDIE – KAMIS, 19 JULI 2008
Seratus limapuluh Geuchik di Adya, membicangkan strategi untuk memanfaatkan dana yang harus mereka kelola untuk memberdayakan masyarakatnya. “Mereka kami bagi menjadi tiga gelombang, masing-masing diikuti 50 orang Gechik,” ungkap Fadhli Ali, Direktur Aceh Ecotourism Society (Aecost) di Blangpidie, Sabtu, 19 Juli 2008.

Kata Fadhli, kegiatan yang dilaksanakan pada 19 – 24 Juli itu dimaksudkan untuk memperkuat pemerintah di tingkat Gampong agar makin siap merencanakan dan mengelola berbagai sumber pendanaan yang disalurkan kepada mereka secara lebih tepat.Fadhli mengharapkan setelah mengikuti pellatihan tersebut kemampuan aparatur pemerintahan Gampong di Abdya tidak gamang lagi untuk mengenali, merancang dan menyelesaikan masalah pembangunan di lingkungan Gampong mereka.

Taraining peningkatan kapasitas aparat Gampong dan Mukim itu dilakukan Aecost bekerja sama dengan BRR NAD – Nias. Pada gelombang pertama, training itu diikuti para kepala desa dan mukim di dua kecamatan di Abdya, yaitu kecamatan Blangpidie dan Susoh. Setelah itu, desa-desa dari kecamatan lainnya juga akan dilatih di ruang pertemuan Khana Pakat Guest House Blangpidie tersebut. Pada hari pertama training, Sabtu lalu, tampak para Geuchik antusias mengikuti acara hingga selesai. “Selain acara ini, kami mohon Aecost dapat memfasilitasi 15 Geuchik di kawasan DAS Krueng Susoh, agar kami dapat terhindar dari banjir seperti selama ini,” kata Anwar, Geuchik Kutatinggi, Blangpidie di sela-sela acara tersebut.

Selain difasilitasi untuk mengenal dan memberikan bobot pada masalahh di lingkungannya, para peserta juga dibekali kemampuan untuk menyusun prioritas program dan menyiapkan profil desa masing-masing. “Kami juga minta perhatian pihak pemerintah kabupaten agar segera menyelesaikan masalah sarana jalan di kampong kami,” kata Anasmiadi, Geuchik Lhueng Asan Blangpidie.

Fadhli Ali, mengharapkan para Geuchik dan Mukim dapat memahami apa sebenarnya masalah yang dihadapi mereka di Gampong masing-masing, sehingga program-program yang diusulkan kepada pemerintah daerah merupakan jawaban dari persoalan yang dihadapi dalam masyarakat. Perencanaan Gampong dibuat tidak hanya karena ada bantuan dari pemerintah daerah, akan tetapi perencanaan pembangunan pemerintah Gampong dengan memperhatikan potensi-potensi yang dimiliki oleh masing-masing desa mutlak diperlukan, sehingga pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah daerah dan pihak donor dapat dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan. Tarining tersebut menghadirkan pemateri Muhammad Umar atau yang lebih dikenal Emtas dan difasilitasi Nashrun Marzuki, anggota Tim Asistensi Gubernur Bidang Komunikasi dan Imran Mahfudi dari Lappekap (Lembaga Pengkajian dan Pemantauan Kebijakan Publik) Banda Aceh.

Selain penyusunan dan pengenalan masalah, para Geuchik dan Imuem Mukim juga diberikan pemahaman akan pentingnya menyiapkan profil Gampong dan tatacara pembuatannya. “Sehingga ketika ada pihak donor yang ingin memberikan bantuan untuk desa tersebut, data-data berkaitan dengan peta demografi, potensi dan masalah tersebut sudah tersedia sehingga dapat dijadikan acuan dalam pelaksanaan program atau kegiatan lembaga-lembaga yang ingin membantu gampong di Abdya,” kata Fadhli Ali. []


INFORMASI LEBIH LANJUT HUBUNGI: FADHLI ALI (085277788829 – fadhli_aceh@yahoo.com)

Saturday, August 30, 2008

Sebuah Catatan Tentang Seunebok
Untuk Qanun Lembaga Adat

Fadhli Ali

Seunebok merupakan cikal bakal kampung. Perkampungan lama (Gampong Jameun) di tanah Aceh hampir semua berawal dari seunebok, kecuali desa (gampong) pesisir tumbuh tanpa berawal dari seunebok. Tidak perlu heran jika di Aceh puluhan desa mempunyai nama dengan embel-embel “seunebok” di kecamatan Tangse, Pidie, ada desa Seunebok Badeuk 3 km arah Barat kota kecamatan itu. Di perlak Aceh Timur ada desa Seunebok Rawang, dilintas jalan Meulaboh-Geumpang menuju Banda Aceh ada desa Seunebok Tuengoh, selain itu masih ada tempat yang bernama Suak Seunebok di MAceh Barat. Desa dengan nama Seunebok (saja) di hampir disemua kabupaten di pesisir Utara Aceh masih sangat banyak jika disebut satu persatu. Jika di runut, hutan lebat digarap menjadi kawasan peladangan dan belukar, kemudian jika dekat dengan sumber air maka kawasan perladangan di poroh (land clearing) dengan peralatan tradisional parang, kampak dan gergaji dijadikan sawah dengan irigasi sederhana yang lazim disebut dengan Seunelob atau Peunelop.
Pada zaman dulu, bahkan masih berlangsung hingga saat ini, di lokasi hutan garapan dibangun dangau (jambo) dimana pemilik lahan atau peladang bermalam. Dengan intensitas peladangan yang terus menerus dan jumlah peladang dan jambo bertambah ramai kemudian muncul gagasan untuk mendirikan shalat berjamaah diantara peladang. Karena itu kemudian mulai terbangun kepentingan bersama untuk mendirikan tempat shalat berjamaah yaitu surau sederhana atau meunasah.
Seiring dengan berdirinya meunasah mengundang kehadiran lebih banyak petani untuk bergabung menggarap hutan dan berladang. Karena suasana dikawasan satu seunebok semakin ramai dan dangau (jambo) semakin banyak, bangunan dangau yang awalnya dibangun dari material seadanya kemudian karena dimakan usia diantara para penggarap mulai merenovasi menjadi bangunan yang lebih baik hingga menjadi rumah panggung yang layak huni.
Seiring dengan makin baiknya bangunan timpat tinggal, sementara bangunan meunasah yang pada mulanya juga dibangun seadanya saja kemudian direnovasi dengan material yang lebih baik, dengan bangunan lebih tinggi dan lebih besar dari bangunan rumah yang paling besar dikawasan itu. Pada titik ini, dangau-dangau mulai “berevolusi” menjadi rumah. Sudah menajadi pandangan-jika tidak ingin menyebut keyakinan- masyarakat Aceh cenderung berpersepsi bangunan rumah ibadah harus lebih besar dari bangunan rumah penduduk yang paling besar di desanya.
Jika ingin lebih ilmiah dan terminologis, seunebok dapat disebut sebagai lembaga adat yang mengatur tatakelola hutan garapan untuk dijadikan kawasan perladangan atau perkebunan di Naggroe Aceh Darussalam. Setidaknya seperti itulah pemaknaan terhadap seunebok yang kami rangkum dari hasil 6 kali kegiatan Fokus Group Discussion (FGD) dan rangkuman hasil Lokakarya yang dilaksanakan Yayasan Aceh Ecotourism Society tentang Penguatan Lembaga dan Hukum Adat di Aceh Barat Daya pada bulan Pebruari-Maret 2008 di Aceh Barat Daya.
Seunebok sangat berbeda dengan pengertian peladang atau perladangan secara umum, perladangan belum tentu ada dalam satu kawasan seunebok. Satu dua orang yang berladang secara berpindah-pindah bukanlah sebuah seunebok. Dan berakhirnya eksistensi sebuah seunebok setelah kawasan perladangan menjadi areal persawahan atau perkebunan, begitupun jika kawasan sebuah seunebok berubah menjadi pemukiman maka seuneboh telah menjadi kampung.
Lain lubuk lain ikannya, lain ladang lain belalang. Begitu kata pepatah. Di Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya di kenal ada dua jenis (tipologi) seunebok, seunebok ateuh (atas) maksudnya kawasan pegunungan dan seuenebok baroh (bawah) maksudnya lahan hamparan atau dataran. Sebagian besar kawasan seuebok baroh berubah menjadi kawasan perkampungan (Gampong) dan persawahan.
Gampong kemudian di urus oleh seorang Geuchik atau kepala desa, sedangkan sawah atau kawasan persawahan diurus oleh Keujrun Blang. Tamatlah riwayat dan eksistensi seunebok. Sedangkan seuenbok ateuh, yaitu daerah pegunungan cenderung permanen, tetap menjadi kawasan kelola seunebok hingga saat ini. Kawasan perkebunan pala di pegunungan Aceh Barat Daya dan di Aceh Selatan sampai saat ini masih eksis dalam kepemimpinan dan pengelolaan seunebok.
Beranjak dari sepotong pengetahuan selama berinteraksi dengan para pemangku adat yang sebagian sudah sepuh yang menjadi peserta FGD Aecost dan kegiatan pendampingan terhadap 21 Seunebok di Aceh Barat Daya selama ini, terdorong untuk menyampaikan pandangan atas draft Qanun Lembaga adat.
Pasal 38 hingga 40 mengatur tentang Seunebok, dalam ayat 2 pasal 40, disebutkan “ Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengkoordinasikan dengan Geuchik setempat ”. Jika koordinasi dan konsultasi ketua seunenbok dilakukan dengan kepala desa ada kesulitan yang dihadapi Peutua Seunebok karena seringkali posisi senebok berkedudukan mencakup lebih dari satu desa, selain itu di hutan batas geografi pemerintahan desa sangat kabur. Begitupun dilihat dari asal domisili penggarap atau pekebun tidak mengenai tapal batas Gampong atau asal usul petani penggarap. Sengketa masalah tapal batas tanah lahan garapan sering terjadi bukan hanya diantara warga yang berasal dari desa yang sama, dalam kasus seperti ini peran Imum Mukim lebih tepat dalam melakukan pendekatan penyelesaian masalah.
Keberadaan lahan seunebok pada umumnya jauh dari pemukiman, Menurut Penelitian dan penelusuran jejak kegiatan kegiatan seunebok yang dilakukan oleh Yayasan Rumpun Bambu Indonesia (YRBI) dikawasan Aceh Besar yang dipublikasikan oleh Sanusi M. Syarif dalam bukunya “Riwang U Seunebok” menyebutkan bahwa keberadaan seunebok berjarak 2 km dari pinggir hutan (gaki glee) terdekat. Dalam posisi 2 km ke dalam hutan dari pinggir hutan terdekat, apalagi sampai lebih dari 5 km ke dalam hutan sebagaimana lokasi ladang kebun pala masyarakat Jambo Papeun Meukek, Aceh Selatan atau masyarakat Krueng Batee kecamatan Kuala Batee, dalam jarak tersebut batas antar gampong sangat kabur.
Mengenai pemilihan Petua Seunebok dipilih melalui musyawarah petani penggarap dalam seunebok, namun sedari dulu tidak dikenal istilah suksesi ketua seunebok. Pergantian ketua terjadi hanya karena meninggal dunia atau pindah tempat tinggal. Dasar tidak ada pergantian karena untuk menjadi ketua seunebok memerlukan keahlian tertentu, terutama penguasaan terhadap pelangkahan atau ilmu perbintangan yang seringkali dikaitkan dengan saat yang tepat untuk bercocok tanam. Selain itu petua seunebok dimasa lampau orang yang pengayom, dan ikhlas membimbing petani agar berhasil. Menguasai sejarah dan seluk beluk lahan juga hal penting untuk memenuhi syarat menjadi seorang Petua Seunebok.
Tugas yang diemban seorang ketua Seunebok yang utama adalah Mengatur tatakelola hutan garapan dan membagi tanah lahan garapan dalam suatu seuneubok, mengurus kepentingan petani penggarap berkaitan dengan jual beli lahan. Dalam salah satu rekomendasi hasil lokakarya Penguatan Lembaga dan hukum adat di Aceh Barat Daya yang berlangsung pada tanggal 14-15 Maret 2008 di SKB kecamatan Tangan-Tangan Aceh Barat Daya, dalam jual beli lahan ketua seunebok tidak akan mengizinkan pengalihan lahan dengan jual beli bila belum ada tanaman. Jikapun kemudian lahan dialihkan kepada pihak lain, hanya boleh menuntut ganti rugi sebesar biaya yang dikeluarkan dalam penggarapan lahan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari tindakan meniagakan lahan “meugaleh” yang dilakukan oleh petani yang semata-mata mencari keuntungan dari menjual lahan garapan.
Selain itu seorang Petua seubebok bertugas menegakkan peraturan dan ketentuan adat dalam wilayah seunebok termasuk memutuskan sangsi adat sesuai dengan kesepakatan terhadap pelanggaran. Diantaranya, termasuk menjaga lingkungan dan biota air dari meuresep (menggunakan racun) seperti pestisida untuk mendapatkan ikan di aliran sunagai. Petua seuenebok juga mengurus upacara adat dan Memperjelas tapal batas tanah lahan garapan dan menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam wilayah seuneubok
Peran Seunebok Abdya
Penggarapan lahan untuk pembangunan kebun oleh masyarakat yang dilakukan secara massa paling banyak di Nanggroe Aceh Darussalam agaknya Aceh Barat Daya dapat di tempatkan pada rangking pertama. Selain karena keberpihakan pemerintah daerah kabupaten yang secara langsung dapat disaksikan oleh warga sejak bulan pertama setelah pelantikan bupati hasil pilkadasung Akmal Ibrahim yang ditunjukkan melalui penolakan statemen resmi bupati yang menyatakan tidak memberikan lahan kepada perusahaan besar sebagai pendorong motivasi warga karena komitmen pemerintah daerah yang sungguh-sungguh dalam membangun prasarana dasar seperti pengeringan rawa dan pembangunan jalan akses.
Seunebok, selain mendapat bantuan dana pendukung juga mendapat legalitas dan pengukuhan keberadaannya oleh pemerintah dengan adanya SK Bupati tentang pembentukan seunebok. Dengan jumlah petani yang ribuan tengah menggarap lahan hingga saat ini dipastikan dapat menimbulkan berbagai masalah diluar kendali jika lembaga adat seunebok tidak berperan dalam proses distribusi lahan kepada warga.
Jika saja tidak berperan seunebok dibutuhkan puluhan orang PNS untuk ditempatkan dalam hutan guna mengurus tapal batas dan menunjuk lokasi lahan garapan warga. Paling tidak Geuchik setiap hari harus keluar masuk hutan untuk mengurus orang-orang yang menggarap lahan dan memancang pancang pembatas untuk orang baru yang akan menggarap lahan.
Namun demikian, peran seunebok masih memiliki kelemahan yang perlu diperbaiki. Bukan dalam arti lembaga itu lemah, tetapi pada orangnya yaitu Petua seunebok yang kurang amanah dan mengayomi petani yang membutuhkan lahan. Pada tataran ini pemilihan ketua seunebok diperlukan orang yang tepat, apalagi dizaman sekarang ini, masyarakat lagi “demam sawit”. Karena prospek dan keuntungan yang menjanjikan, ada pemilik modal yang berani merogoh kocek membayar sampai 5 juta rupiah per hektar lahan hutan yang belum tersentuh tagan manusia, asal ada kepastian legalitas lahan seperti akta jual beli.
Apalah jadinya, jika beberapa pemodal menguasai lebih separuh lahan yang mestinya dikuasai rakyat banyak ? maka tempat yang layak bagi pekerjaan anak negeri di masa depan adalah menjadi buruh dodos (panen) Tandan Buah Segar (TBS) sawit. Karena itu semua pihak, termasuk Petua seunebok mestinya menjadi petua adat dalam arti yang sebenarnya, sebagaimana yang ditunjukkan indatu orang Aceh. Petua seunebok yang bijak memberi lahan kepada penggarap yang belum punya, bukan menawarkan pada orang yang sudah kelebihan lahan. Semoga dengan lahirnya Qanun lembaga adat di Nanggroe Aceh Darussalam, pengakuan keberadaan lembaga adat semakin jelas dari negara dengan demikian diharapkan semangat dan kinerja lembaga adat di Aceh dapat berperan kembali sebagaimana di di contohkan oleh para leluhurnya dulu.


*Aktif di Yayasan Aceh Ecotourism Society dan Fasilitator Lembaga adat Seunebok di Aceh Barat Daya