Sebuah Catatan Tentang Seunebok
Untuk Qanun Lembaga Adat
Fadhli Ali
Seunebok merupakan cikal bakal kampung. Perkampungan lama (Gampong Jameun) di tanah Aceh hampir semua berawal dari seunebok, kecuali desa (gampong) pesisir tumbuh tanpa berawal dari seunebok. Tidak perlu heran jika di Aceh puluhan desa mempunyai nama dengan embel-embel “seunebok” di kecamatan Tangse, Pidie, ada desa Seunebok Badeuk 3 km arah Barat kota kecamatan itu. Di perlak Aceh Timur ada desa Seunebok Rawang, dilintas jalan Meulaboh-Geumpang menuju Banda Aceh ada desa Seunebok Tuengoh, selain itu masih ada tempat yang bernama Suak Seunebok di MAceh Barat. Desa dengan nama Seunebok (saja) di hampir disemua kabupaten di pesisir Utara Aceh masih sangat banyak jika disebut satu persatu. Jika di runut, hutan lebat digarap menjadi kawasan peladangan dan belukar, kemudian jika dekat dengan sumber air maka kawasan perladangan di poroh (land clearing) dengan peralatan tradisional parang, kampak dan gergaji dijadikan sawah dengan irigasi sederhana yang lazim disebut dengan Seunelob atau Peunelop.
Pada zaman dulu, bahkan masih berlangsung hingga saat ini, di lokasi hutan garapan dibangun dangau (jambo) dimana pemilik lahan atau peladang bermalam. Dengan intensitas peladangan yang terus menerus dan jumlah peladang dan jambo bertambah ramai kemudian muncul gagasan untuk mendirikan shalat berjamaah diantara peladang. Karena itu kemudian mulai terbangun kepentingan bersama untuk mendirikan tempat shalat berjamaah yaitu surau sederhana atau meunasah.
Seiring dengan berdirinya meunasah mengundang kehadiran lebih banyak petani untuk bergabung menggarap hutan dan berladang. Karena suasana dikawasan satu seunebok semakin ramai dan dangau (jambo) semakin banyak, bangunan dangau yang awalnya dibangun dari material seadanya kemudian karena dimakan usia diantara para penggarap mulai merenovasi menjadi bangunan yang lebih baik hingga menjadi rumah panggung yang layak huni.
Seiring dengan makin baiknya bangunan timpat tinggal, sementara bangunan meunasah yang pada mulanya juga dibangun seadanya saja kemudian direnovasi dengan material yang lebih baik, dengan bangunan lebih tinggi dan lebih besar dari bangunan rumah yang paling besar dikawasan itu. Pada titik ini, dangau-dangau mulai “berevolusi” menjadi rumah. Sudah menajadi pandangan-jika tidak ingin menyebut keyakinan- masyarakat Aceh cenderung berpersepsi bangunan rumah ibadah harus lebih besar dari bangunan rumah penduduk yang paling besar di desanya.
Jika ingin lebih ilmiah dan terminologis, seunebok dapat disebut sebagai lembaga adat yang mengatur tatakelola hutan garapan untuk dijadikan kawasan perladangan atau perkebunan di Naggroe Aceh Darussalam. Setidaknya seperti itulah pemaknaan terhadap seunebok yang kami rangkum dari hasil 6 kali kegiatan Fokus Group Discussion (FGD) dan rangkuman hasil Lokakarya yang dilaksanakan Yayasan Aceh Ecotourism Society tentang Penguatan Lembaga dan Hukum Adat di Aceh Barat Daya pada bulan Pebruari-Maret 2008 di Aceh Barat Daya.
Seunebok sangat berbeda dengan pengertian peladang atau perladangan secara umum, perladangan belum tentu ada dalam satu kawasan seunebok. Satu dua orang yang berladang secara berpindah-pindah bukanlah sebuah seunebok. Dan berakhirnya eksistensi sebuah seunebok setelah kawasan perladangan menjadi areal persawahan atau perkebunan, begitupun jika kawasan sebuah seunebok berubah menjadi pemukiman maka seuneboh telah menjadi kampung.
Lain lubuk lain ikannya, lain ladang lain belalang. Begitu kata pepatah. Di Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya di kenal ada dua jenis (tipologi) seunebok, seunebok ateuh (atas) maksudnya kawasan pegunungan dan seuenebok baroh (bawah) maksudnya lahan hamparan atau dataran. Sebagian besar kawasan seuebok baroh berubah menjadi kawasan perkampungan (Gampong) dan persawahan.
Gampong kemudian di urus oleh seorang Geuchik atau kepala desa, sedangkan sawah atau kawasan persawahan diurus oleh Keujrun Blang. Tamatlah riwayat dan eksistensi seunebok. Sedangkan seuenbok ateuh, yaitu daerah pegunungan cenderung permanen, tetap menjadi kawasan kelola seunebok hingga saat ini. Kawasan perkebunan pala di pegunungan Aceh Barat Daya dan di Aceh Selatan sampai saat ini masih eksis dalam kepemimpinan dan pengelolaan seunebok.
Beranjak dari sepotong pengetahuan selama berinteraksi dengan para pemangku adat yang sebagian sudah sepuh yang menjadi peserta FGD Aecost dan kegiatan pendampingan terhadap 21 Seunebok di Aceh Barat Daya selama ini, terdorong untuk menyampaikan pandangan atas draft Qanun Lembaga adat.
Pasal 38 hingga 40 mengatur tentang Seunebok, dalam ayat 2 pasal 40, disebutkan “ Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengkoordinasikan dengan Geuchik setempat ”. Jika koordinasi dan konsultasi ketua seunenbok dilakukan dengan kepala desa ada kesulitan yang dihadapi Peutua Seunebok karena seringkali posisi senebok berkedudukan mencakup lebih dari satu desa, selain itu di hutan batas geografi pemerintahan desa sangat kabur. Begitupun dilihat dari asal domisili penggarap atau pekebun tidak mengenai tapal batas Gampong atau asal usul petani penggarap. Sengketa masalah tapal batas tanah lahan garapan sering terjadi bukan hanya diantara warga yang berasal dari desa yang sama, dalam kasus seperti ini peran Imum Mukim lebih tepat dalam melakukan pendekatan penyelesaian masalah.
Keberadaan lahan seunebok pada umumnya jauh dari pemukiman, Menurut Penelitian dan penelusuran jejak kegiatan kegiatan seunebok yang dilakukan oleh Yayasan Rumpun Bambu Indonesia (YRBI) dikawasan Aceh Besar yang dipublikasikan oleh Sanusi M. Syarif dalam bukunya “Riwang U Seunebok” menyebutkan bahwa keberadaan seunebok berjarak 2 km dari pinggir hutan (gaki glee) terdekat. Dalam posisi 2 km ke dalam hutan dari pinggir hutan terdekat, apalagi sampai lebih dari 5 km ke dalam hutan sebagaimana lokasi ladang kebun pala masyarakat Jambo Papeun Meukek, Aceh Selatan atau masyarakat Krueng Batee kecamatan Kuala Batee, dalam jarak tersebut batas antar gampong sangat kabur.
Mengenai pemilihan Petua Seunebok dipilih melalui musyawarah petani penggarap dalam seunebok, namun sedari dulu tidak dikenal istilah suksesi ketua seunebok. Pergantian ketua terjadi hanya karena meninggal dunia atau pindah tempat tinggal. Dasar tidak ada pergantian karena untuk menjadi ketua seunebok memerlukan keahlian tertentu, terutama penguasaan terhadap pelangkahan atau ilmu perbintangan yang seringkali dikaitkan dengan saat yang tepat untuk bercocok tanam. Selain itu petua seunebok dimasa lampau orang yang pengayom, dan ikhlas membimbing petani agar berhasil. Menguasai sejarah dan seluk beluk lahan juga hal penting untuk memenuhi syarat menjadi seorang Petua Seunebok.
Tugas yang diemban seorang ketua Seunebok yang utama adalah Mengatur tatakelola hutan garapan dan membagi tanah lahan garapan dalam suatu seuneubok, mengurus kepentingan petani penggarap berkaitan dengan jual beli lahan. Dalam salah satu rekomendasi hasil lokakarya Penguatan Lembaga dan hukum adat di Aceh Barat Daya yang berlangsung pada tanggal 14-15 Maret 2008 di SKB kecamatan Tangan-Tangan Aceh Barat Daya, dalam jual beli lahan ketua seunebok tidak akan mengizinkan pengalihan lahan dengan jual beli bila belum ada tanaman. Jikapun kemudian lahan dialihkan kepada pihak lain, hanya boleh menuntut ganti rugi sebesar biaya yang dikeluarkan dalam penggarapan lahan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari tindakan meniagakan lahan “meugaleh” yang dilakukan oleh petani yang semata-mata mencari keuntungan dari menjual lahan garapan.
Selain itu seorang Petua seubebok bertugas menegakkan peraturan dan ketentuan adat dalam wilayah seunebok termasuk memutuskan sangsi adat sesuai dengan kesepakatan terhadap pelanggaran. Diantaranya, termasuk menjaga lingkungan dan biota air dari meuresep (menggunakan racun) seperti pestisida untuk mendapatkan ikan di aliran sunagai. Petua seuenebok juga mengurus upacara adat dan Memperjelas tapal batas tanah lahan garapan dan menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam wilayah seuneubok
Peran Seunebok Abdya
Penggarapan lahan untuk pembangunan kebun oleh masyarakat yang dilakukan secara massa paling banyak di Nanggroe Aceh Darussalam agaknya Aceh Barat Daya dapat di tempatkan pada rangking pertama. Selain karena keberpihakan pemerintah daerah kabupaten yang secara langsung dapat disaksikan oleh warga sejak bulan pertama setelah pelantikan bupati hasil pilkadasung Akmal Ibrahim yang ditunjukkan melalui penolakan statemen resmi bupati yang menyatakan tidak memberikan lahan kepada perusahaan besar sebagai pendorong motivasi warga karena komitmen pemerintah daerah yang sungguh-sungguh dalam membangun prasarana dasar seperti pengeringan rawa dan pembangunan jalan akses.
Seunebok, selain mendapat bantuan dana pendukung juga mendapat legalitas dan pengukuhan keberadaannya oleh pemerintah dengan adanya SK Bupati tentang pembentukan seunebok. Dengan jumlah petani yang ribuan tengah menggarap lahan hingga saat ini dipastikan dapat menimbulkan berbagai masalah diluar kendali jika lembaga adat seunebok tidak berperan dalam proses distribusi lahan kepada warga.
Jika saja tidak berperan seunebok dibutuhkan puluhan orang PNS untuk ditempatkan dalam hutan guna mengurus tapal batas dan menunjuk lokasi lahan garapan warga. Paling tidak Geuchik setiap hari harus keluar masuk hutan untuk mengurus orang-orang yang menggarap lahan dan memancang pancang pembatas untuk orang baru yang akan menggarap lahan.
Namun demikian, peran seunebok masih memiliki kelemahan yang perlu diperbaiki. Bukan dalam arti lembaga itu lemah, tetapi pada orangnya yaitu Petua seunebok yang kurang amanah dan mengayomi petani yang membutuhkan lahan. Pada tataran ini pemilihan ketua seunebok diperlukan orang yang tepat, apalagi dizaman sekarang ini, masyarakat lagi “demam sawit”. Karena prospek dan keuntungan yang menjanjikan, ada pemilik modal yang berani merogoh kocek membayar sampai 5 juta rupiah per hektar lahan hutan yang belum tersentuh tagan manusia, asal ada kepastian legalitas lahan seperti akta jual beli.
Apalah jadinya, jika beberapa pemodal menguasai lebih separuh lahan yang mestinya dikuasai rakyat banyak ? maka tempat yang layak bagi pekerjaan anak negeri di masa depan adalah menjadi buruh dodos (panen) Tandan Buah Segar (TBS) sawit. Karena itu semua pihak, termasuk Petua seunebok mestinya menjadi petua adat dalam arti yang sebenarnya, sebagaimana yang ditunjukkan indatu orang Aceh. Petua seunebok yang bijak memberi lahan kepada penggarap yang belum punya, bukan menawarkan pada orang yang sudah kelebihan lahan. Semoga dengan lahirnya Qanun lembaga adat di Nanggroe Aceh Darussalam, pengakuan keberadaan lembaga adat semakin jelas dari negara dengan demikian diharapkan semangat dan kinerja lembaga adat di Aceh dapat berperan kembali sebagaimana di di contohkan oleh para leluhurnya dulu.
*Aktif di Yayasan Aceh Ecotourism Society dan Fasilitator Lembaga adat Seunebok di Aceh Barat Daya
Saturday, August 30, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment