Friday, September 19, 2008

Wakampas Sorot HPH dan KKN di Aceh Selatan

Edisi Selasa, 3 Juli 2007

Forum Dialog Aceh Selatan Sorot HPH dan Pejabat KKN

Serambi-Tapaktuan
Tuntutan pembekuan izin operasi sejumlah perusahaan HPH yang membuat
sengsara masyarakat serta penyelesaian tuntas sengketa lahan HGU
perkebunan PT Cemerlang Abadi (PT CA) dan PT Patriot Guna Saksi Abadi
(PT PGSA) kembali mengemuka dalam furum dialog bersama di Tapaktuan,
Aceh Selatan, Senin (15/3).
Forum dialog bersama Pemda, mahasiswa, OKP dan masyarakat serta wakil
dari pengusaha HPH dan HGU perkebunan berlangsung di gedung DPRD
Tapaktuan itu berjalan panas dan seru. Apalagi, forum ini juga
menyorot tajam menyangkut dugaan KKN dalam pengangkatan pejabat di
tubuh Pemda, masalah maksiat, serta perjudian yang masih berlangsung.
Dialog tersebut merupakan produk kesepakatan bersama setelah mahasiswa
yang menamakan Wakampas (Wahana Komunikasi Mahasiswa & Pemuda Aceh
Selatan) melakukan unjukrasa di halaman kantor bupati setempat tanggal
27 Februari lalu. Dalam aksi demontrasi yang kedua kali itu mereka
mendesak Pemda segera menuntaskan berbagai bentuk ketimpangan yang
sangat merugikan dan menimbulkan keresahan masyarakat.
Dialog hari Senin itu, dihadiri Bupati Ir T Machsalmina Ali, Ketua
DPRD H Syahruman TB, Kapolres Letkol Pol Drs Gatot Subroto, Kejari
Tapaktuan, unsur Kodim 0107 serta kepala dinas terkait. Ikut juga
wakil dari empat perusahaan HPH masing-masing, M Ali Hasan (PT Asdal
Babahrot), Tigor (PT Hargas Industri Indonesia di Trumon), Ayap (PT
Medan Remaja Timber di Kluet Selatan), PT Gruti Bakongan, dan H Datok
NG Razali pengusaha HGU PT CA di Kecamatan Kuala Batee.
Forum itu dimoderatori Erwanto (Wakampas) dan Asnawi SmHk (dari DPC
Pemuda Pancasila). Kendati berlangsung panas, terutama menyorot
masalah penyimpangan HPH, namun kegiatan dialog yang mendapat
perhatian besar itu berjalan lancar.
Acara berlangsung dari pukul 09.30 sampai berakhir pukul 18.00 WIB,
setelah sempat istirahat dari pukul 12.30 sampai pukul 14.15 WIB.
Ketegangan segera terasa, ketika sejumlah mahasiswa dan masyarakat
tampil mengemukakan dampak buruk dari operasi HPH, sehingga pihak
moderator tampak kesulitan mengontrol jalannya dialog.
Sorotan keras ditujukan terhadap empat perusahaan HPH, PT Asdal, PT
Medan Remaja Timber (MRT), PT Gruti, dan PT Hargas Industri Indonesia
(HII).
Kritikan berkisar pada sejumlah pelanggaran HPH, seperti tidak
melakukan kewajiban Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH), menunggak
IHH dan PBB, penebangan di luar RKT, dan penebangan kembali dalam RKT
lama (relogging), penebangan kayu sepanjang aliran sungai dan di atas
kemiringan 45 derjat, sampai sikap angkuh HPH yang membuka kantor di
Sumatera Utara.
Ditegaskan juga, beroperasinya HPH secara membabi buta tanpa
pengawasan dari instansi kehutanan telah nyata-nyata menimbulkan
kerusakan lingkungan sangat parah. Ironinya, masyarakat harus
menanggung penderitaan berkepanjangan.
Dari sisi sosial dan ekonomi, keberadaan HPH dinilai tidak
menguntungkan baik daerah dan masyarakat. Sebaliknya, HPH
"menghadiahkan" bencana banjir yang meluluhlantakkan prasarana
infrastruktur yang telah telah tersedia.
Afdal Jihad, mahasiswa asal Kuala Batee, misalnya secara tegas meminta
pemerintah segera menutup izin operasional PT Asdal Unit Babahrot
sampai perusahaan tersebut memenuhi seluruh kewajibannya.
Sementara Tgk Abubakar Albayany, tokoh masyarakat Babahrot, bahwa PT
Asdal harus melakukan ganti rugi kepada masyarakat karena banyak areal
lahan garapan yang tertimbun batu yang diseret arus sungai yang
semakin dangkal. "Kalau tidak izinnya harus dicabut".
Fadhli Ali, juga mahasiswa asal Kuala Batee, menyorot sejumlah HPH yang
melakukan penebangan di luar RKT, penebangan kembali di RKT lama serta
penebangan di atas kemiringan 45 derjat sehingga terjadi kerusakan
lingkungan yang harus ditanggung warga sekitar lokasi areal HPH. Kades
Pantee Cermin, Alimin Ali pada kesempatan tersebut menyorot PT Asdal
yang tidak sungguh-sungguh melaksanakan kewajiban bina desa sekitar.
Tudingan serupa ditujukan kepada PT MRT Kluet Selatan, PT Gruti
Bakongan, dan PT Hargas Trumon. Malah, menurut T Muslim, tokoh
masyarakat Trumon, PT Hargas pernah menangkap 46 unit chainsaw milik
masyarakat dan sampai sekarang tidak tentu kemana rimbanya.
Perusahaan ini dalam aksinya mendatangkan aparat berwajib dari Sumut
untuk mengintimidasi dan aparat tersebut bertindak sewenang-wenang
terhadap masyarakat dan perusahaan tersebut pernah menghentikan
karyawan secara paksa tanpa pesangon.
Pihak yang mewakili perusahaan HPH, membantah tudingan keradaan HPH
tidak bermanfaat. Seperti dikemukakan M Ali Hasan dari PT Asdal dan
Tigor dari PT Hargas bahwa mereka memiliki data-data telah melakukan
kewajiban-kewajiban, dan mereka meminta diturunkan tim khusus untuk
menyelidiki kebenarannya di lapangan.
Dalam forum tersebut juga mencuat keberatan bila semua kesalahan
dialamatkan kepada HPH. Seperti dikemukakan Suhaimi, seorang pengusaha
kayu di Kluet Selatan yang terkesan membela PT MRT. Menurutnya,
penebangan liar tidak semuanya dilakukan perushaan HPH, tapi pihaknya
memiliki bukti-bukti bahwa pelanggaran tersebut dilakukan masyarakat,
seperti melakukan tebangan liar.
Bupati T Machsalmina Ali secara tegas mengatakan tidak membela
perusahaan HPH yang terbukti melakukan pelanggaran. Dalam hal ini
Pemda telah mengeluarkan rekomendasi pencabutan PT MRT kepada
Menhutbun melalui Gubernur karena perusahaan tersebut tidak memiliki
batas yang jelas dengan TNGL.
Tentang kemungkinan terjadi pelanggaran oleh HPH lainnya, menurut T
Machsalmina Ali sebuah tim kenerja HPH dari Tk I Aceh dibantu tim dari
Tk II telah turun ke lapangan untuk mendapatkan informasi dan data
akurat. Untuk menyelesaikan masalah HPh disepakati dibentuk tim
perumus terdiri dari unsur Pemda, masyarakat dan pihak perusahaan HPH
sendiri.
Bila terbukti melakukan pelanggaran, pihaknya tidak segan -segan
mengusulkan untuk dicabut. Bupati juga mendukung sorotan HPH yang
tidak membuka kantor di Aceh Selatan, melainkan seluruhnya berada di
Medan.
Kapolres Gatot Subroto menanggapi penangkapan chainsaw oleh PT Hargas
mengatakan akan diusut. Dan moderator dialog, Erwanto (Wakampas) dalam
kesempatan itu meminta pihak PT Hargas memberikan argumen.
Tigor dari PT Hargas membenarkan 46 chainsaw ditangkap, tapi 43 di
antaranya ditangkap aparat kepolisian Polres Aceh Selatan ketika
sedang dioperasikan, karenanya PT Hargas tidak tahu soal itu. Sedang
tiga unit lainnya adalah milik PT HII yang dioperasikan masyarakat
ditangkap POM ABRI dari Sumut.
Tapi argumen Tigor dibantah keras T Muslim yang menyatakan tidak ada
aparat kepolisian setempat yang menangkap chainsaw. Masyarakat tahu
bahwa yang menangkap adalah aparat dari luar daerah yang didatangkan
PT Hargas. "Kami tahu yang mana aparat daerah dan yang mana pula
aparat dari luar daerah," kata mantan anggota DPRD Aceh Selatan itu.
Sengketa PT CA
Menjawab sorotan bahwa sengketa lahan HGU PT CA dan PT PGSA di Kuala
Batee, belum tuntas, Bupati T Machsalmina Ali mengatakan, pihaknya
segera membentuk tim perumus yang terdiri dari Pemda, perusahaan,
masyarakat dan instansi terkait yang bertugas menyelesaikan secara
tuntas kasus tersebut.
"Saya tidak berpihak kepada perusahaan, bila benar lahan cetak sawah
dan lahan garapan masyarakat masuk dalam areal HGU, pihak perusahaan
harus mengeluarkannya. "Saya tidak main-main dalam masalah ini,"
tegasnya dengan suara mantap.
Sedangkan Datok NG Razali, pihaknya telah berupaya kuat agar dapat
hidup berdampingan dengan masyarakat sehingga kehadiran perusahaan
perkebunan miliknya membawa manfat bagi warga sekitar. Sebagai bukti,
pihaknya telah mengeluarkan 710 hektar dari 7.100 hektar areak PT CA
kepada masyarakat. Itu juga belum cukup, sekitar Juni 1998 lalu
pihaknya kembali mengeluarkan 216 hektar untuk dijadikan lahan harapan
masyarakat.(nun)

MENDEKLARASIKAN KAUKUS PANTAI BARAT SELATAN DI GRAND NANGGROE BANDA ACEH

Edisi Selasa, 3 Juli 2007
Ketidakadilan Pembangunan Masih
Dirasakan di Wilayah Pantai Barat
Selatan
Banda Aceh, (Analisa)
Terjadinya ketidakadilan dalam pelaksanaan
pembangunan di wilayah pantai barat-selatan Aceh
saat ini masih dirasakan oleh masyarakat setempat,
dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya di pantai
timur-utara Aceh, termasuk di dalam pelaksanaan
rehabilitasi dan rekonstruksi pasca konflik, gempa
bumi dan tsunami.
Kenyataan pahit ini lebih diperparah lagi dengan
persentase jumlah angka kemiskinan saat ini yang
juga masih sangat tinggi di kawasan itu, yaitu
mencapai 61,43 persen, dan khusus di Kabupaten
Simeulue, jumlah angka kemiskinan mencapai 81
persen lebih.
Terhadap realitas dan fakta tersebut, sejumlah
masyarakat dari daerah tersebut mendeklarasikan
berdirinya, Kaukus Pantai Barat-Selatan, Senin (2/7)
di salah satu hotel di Banda Aceh.
“Terhadap potret kemiskinan dan ketidakadilan dalam
pembangunan ini, telah mendorong kami pada hari ini
mendeklarasikan berdirinya Kaukus Pantai Barat
Selatan. Kaukus ini dibentuk sebagai forum
komunikasi dan advokasi guna memastikan
terwujudnya keadilan dalam pemerataan
pembangunan. Hal ini penting sebagai bahagian yang
tak terpisahkan dalam mewujudkan perdamaian yang
abadi di Aceh,” ujar TAF Haikal, jurubicara kaukus
tersebut kepada wartawan, Senin (2/7)
Dalam kaukus ini juga terdapat delapan orang
inisiator daerah seperti T Neta Firdaus (Aceh Barat),
Saiful (Aceh Selatan), Fadhli (Aceh Barat Daya),
Asrizal (Aceh Jaya), Zahraim Zain (Simeulue),
Mashudi (Aceh Singkil) Faisal Qubsy (Nagan Raya)
dan Hasbi BM (Subulussalam).
Disebutkannya, pantai barat-selatan adalah wilayah
yang terdiri dari delapan kabupaten/kota yakni Aceh
Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Simeulue, Aceh
Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil dan Kota
Subulussalam.
Dibanding dengan wilayah utara dan timur Aceh,
pantai barat-selatan dengan luas wilayah 228.136
km2 dan jumlah penduduk 867.414 jiwa ini,
dikategorikan sebagai wilayah tertinggal, dengan

potret buram kemiskinan dan keterbelakangan secara
fisik maupun nonfisik. Mulai dari sektor pendidikan,
kesehatan bahkan transportasi.
URUTAN 12 BESAR
Dari 2.029.639 jiwa penduduk miskin di seluruh Aceh,
pantai barat selatan menyumbang sebanyak 531.509
jiwa atau masuk urutan 12 besar.
“Ini artinya, dari 867.414 jiwa total penduduk pantai
barat-selatan, 61,43 persen merupakan penduduk
miskin. Angka ini memberi sumbangan di atas ratarata
angka kemiskinan Provinsi Aceh yang hanya
49,85 persen persen. Jika dirinci, kabupaten yang
paling tinggi tingkat kemiskinannya yakni Simeulue
memiliki 81 persen penduduk miskin, disusul Nagan
Raya, Singkil, Aceh selatan, Aceh Barat Daya, Aceh
Barat dan Aceh Jaya,” ujar Haikal.
Selain itu, lanjutnya, pantai barat-selatan adalah juga
wilayah yang terparah terkena dampak bencana
gempa dan tsunami yang terjadi dua tahun silam.
Dari 1.341 desa yang ada di pantai barat-selatan, 384
di antaranya hancur akibat gempa dan tsunami.
Sedangkan jumlah kota yang rusak karena bencana
26 Desember 2004 ini berjumlah 38, atau 52 persen,
dari 74 kota yang ada di wilayah itu.
Selanjutnya, pantai barat-selatan juga merupakan
wilayah yang terkena konflik bersenjata di Aceh
beberapa waktu lalu, yang selain menyebabkan
ratusan jiwa melayang, juga menimbulkan kerusakan
fisik dan nonfisik pada bangunan milik masyarakat.
Fakta ini membuat daerah itu memberi kontribusi bagi
semakin terisolirnya daerah, sekaligus menambah
banyak kantong-kantong kemiskinan.
“Tanpa harus melihat data yang rinci pun, semua
orang akan maklum bahwa pembangunan yang
terjadi dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir
tidaklah memihak pada penduduk di wilayah pantai
barat-selatan. Bahkan, hingga sekarang pun
Pemerintah Aceh melalui alokasi anggaran APBAnya,
belum terlihat akan menjawab terhadap dua
persoalan utama yaitu kemiskinan dan ketertinggalan
daerah,” terangnya.
Menurut TAF Haikal, pantai barat-selatan sampai
saat ini masih sulit dijangkau dan masyarakatnya pun
masih terus berada di bawah garis kemiskinan.
Hal ini terjadi karena seluruh pelaku pembangunan di
Aceh tidak memiliki apresiasi yang cukup terhadap
pantai barat-selatan. Akibatnya, sebahagian besar
alokasi anggaran pembangunan lebih memihak ke
wilayah utara-timur.
“Di sisi lain, kelemahan aparatur pemerintah daerah
di pantai barat-selatan ikut 'berkontribusi' kian
memperburuk kondisi wilayah dan masyarakat di
kawasan ini. Dengan keadaan demikian, sebenarnya
kondisi pembangunan pantai barat-selatan saat ini
adalah sejarah panjang dari ketidakadilan kebijakan
dan alokasi anggaran dari Pemerintah Aceh
sepanjang lima tahun terakhir. Dan ironisnya, sepak
terjang Pemerintah Aceh di kawasan pantai baratselatan
juga masih berkutat dengan
ketidakmampuannya untuk mendorong adanya
perubahan total ketidakadilan itu,” ungkap jurubicara
kaukus itu. (mhd)




Deklarasi Kaukus Pantai Barat-Selatan
“POTRET KEMISKINAN DAN KETIDAKADILAN PEMBANGUNAN”

Pantai Barat-Selatan adalah wilayah yang terdiri dari 8 kabupaten/kota yakni Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Simeulue, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil dan Subulussalam. Dibanding dengan wilayah Utara dan Timur Aceh, Pantai Barat-Selatan bisa dikatagorikan sebagai wilayah tertinggal. Mulai dari sektor pendidikan, kesehatan bahkan transportasi.

Pantai Barat-Selatan adalah juga wilayah yang terparah terkena dampak bencana gempa dan tsunami yang terjadi dua tahun silam. Pantai Barat-Selatan juga merupakan wilayah yang terkena dampak konflik bersenjata di Aceh beberapa waktu lalu. Fakta ini membuat kawasan Pantai Barat-Selatan menjadi daerah terisolir dan tertinggal. Sekaligus menjadi wilayah yang banyak kantong-kantong kemiskinan.

Tanpa harus melihat data yang rinci pun, semua orang akan maklum bahwa pembangunan yang berlaku sekarang pun belum menjawab dua persoalan utama yaitu kemiskinan dan keterisoliran daerah. Pantai Barat-Selatan sampai saat ini masih sulit dijangkau dan masyarakatnya pun masih terus berada dibawah garis kemiskinan. Hal ini terjadi karena seluruh pelaku pembangunan di Aceh tidak memiliki apresiasi yang cukup terhadap Pantai Barat-Selatan. Akibatnya, sebahagian besar alokasi anggaran pembangunan lebih memihak kewilayah Utara-Timur.

Di sisi lain, kelemahan aparatur pemerintah daerah di Pantai Barat–Selatan ikut “berkontribusi” kian memperburuk kondisi wilayah dan masyarakat di kawasan ini. Dengan keadaan demikian, sebenarnya kondisi pembangunan Pantai Barat–Selatan saat ini adalah sejarah panjang dari ketidakadilan kebijakan dan alokasi anggaran dari Pemerintah Daerah Provinsi Aceh sepanjang lima tahun terakhir. Dan ironisnya, sepak terjang Pemerintah Daerah di kawasan Pantai Barat–Selatan juga masih berkutat dengan ketidakmampuannya untuk mendorong adanya perubahan total ketidakadilan itu.

Fakta diatas mendorong kami pada hari ini senin tanggal dua bulan Juli Tahun Dua Ribu Tujuh mendeklarasikan berdirinya KAUKUS PANTAI BARAT-SELATAN. Kaukus ini dibentuk sebagai forum komunikasi dan advokasi guna memastikan terwujudnya keadilan dalam pemerataan pembangunan. Hal ini penting sebagai bahagian yang tak terpisahkan dalam mewujud damai yang abadi di Aceh.

Banda Aceh, 2 Juli 2007
Juru Bicara

TAF Haikal

Inisiator Daerah:
1.T. Neta Firdaus (Aceh Barat)
2.Saiful (Aceh Selatan)
3.Fadhli Ali (Aceh Barat Daya)
4.T. Asrizal (Aceh Jaya)
5.Zairahim Zain (Simeulue)
6.Mashudi (Aceh Singkil)
7.Faisal Qubsy (Nagan Raya)
8.Hasbi BM (Subulussalam

Friday, September 12, 2008

Cabut DOM dan Aksi Dengan Tim Pencari Fakta DPR-RI untuk Aceh

Dalam pertemuan hari Rabu (22/7) dengan Tim Pencari Fakta (TPF) DPR tentang kasus orang hilang di Aceh, delegasi LSM Humanika menuntut pencabutan status Daerah Operasi Militer (DOM) dan istilah GPK Aceh juga dihilangkan. Sejak tahun 1986 DOM diterapkan di Aceh, maka pendekatan keamanan mewarnai propinsi di ujung pulau Sumatera ini. Akibatnya adalah terjadi banyak pelanggaran hak asasi manusia di Aceh. Untuk itu Humanika minta agar TPF DPR terjun langsung ke lapangan, karena selama ini TPF-TPF sebelumnya selalu didampingi aparat keamanan maka fakta yang diperoleh tidak terungkap secara bebas. Ali Fadli, juru bicara Humanika, mengatakan tidak ada alasan menuduh masyarakat Aceh separatis. Jika ada reaksi - berupa gerakan - dari masyarakat Aceh, itu adalah cerminan kekecewaan terhadap pemerintah pusat. Selama ini anggaran daerah yang diberikan tidak sebanding dengan kekayaan alam yang ada di Aceh.

Fadhli Berteriak Ke Media Soal Rumah Terlantar

Rubrik: Serambi Nusa Edisi: 02/12/2007 11:29:05
Ratusan Rumah BRR Ditelantarkan

BLANGPIDIE- Ratusan rumah bantuan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh dan Nias
yang tersebar di seluruh kecamatan dalam Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) realisasi fisik
sangat minim. Proyek rumah bantuan di bawah kendali Manajemen Kontruksi 2 (MK 2), MK 1 dan
Regional IV itu hampir dapat dipastikan tidak rampung dikerjakan tahun ini.
Banyak rumah BRR yang terbengkalai atau ditelantar sangat mengewakan masyarakat penerima. Di antara sampai menangis ketika mengadu ke Kantor Asisten Manajer Perumahan dan Pemukiman (Asperkim) Abdya dan Falisator Kecamatan (FK) setempat.
Dilaporkan, beberapa warga penerima rumah bantuan di Kecamatan Kuala Batee nekad membuat
dinding darurat dari plastik lantaran pihak kontraktor tidak memasang batu bata. Malahan,
sejumlah rumah setelah selesai bangunan pondasi, ditelantarkan kontraktor sehingga lokasi sudah ditutupi rumput.
Hasil investigasi Serambi selama dua hari, Jumat (30/11) dan Sabtu (1/12) cukup banyak rumah
bantuan belum rampung dikerjakan rekanan. Rumah rumah yang dibangun dengan lokasi menyebar sebagian hanya selesai pemasangan atap, tapi belum dipasang dinding dari batu bata. Banyak pula rumah yang hanya selesai dipasang atap bagian depan saja, sementara bagian belakang masih tampak rangka, kosong melompong, dan tidak sedikit pula rumah belum dipasang pintu dan jendela.
Kasus seperti itu banyak ditemukan terutama di Kecamatan Kuala Batee dan Manggeng. Kemudian beberapa rumah di Kecamatan Susoh, Blangpidie, Tangan Tangan dan Babahrot. Warga penerima yang sebelumnya berbunga bunga setelah terdaftar sebagai penerima, kemudian sudah sekilan lama riumah tak selesai. Seperti dialami janda Ny Saren warga Desa Panto Cut Kuala Batee yang memelihara beberapa anak yatim terpaksa membuat dinding rumah ala kadar dari plastik agar dapat ditempati lantaran kontraktor belum memasang dinding dari batu bata.
Kemudian banyak rumah di Kuala Batee ditelantarkan kontraktor setelah selesai pondasi antara
lain rumah Suriati dan Nasrudin warga Pasar Kota Bahagia dan Bukhari, warga Desa Padang Sikabu.
Kasus serupa juga dilaporkan terjadi di Kecamatan Manggeng dan kecamatan lainnya.
Banyak rumah bantuan BRR di Abdya yang bermasalah, dimana realisasi fisik sangat rendah
dibandingkan realiasi keuangan, menurut sumber disebab kontraktor berhasil mengelabui Penjabat Pembuat Komitmen (PPK) atau Satuan Kerja (Satker) ketika melakukan pencarian dana.
Modus yang dilakukan, kontraktor memasang atap bagian depan saja, kemudian foto dan pintu dan jendela dibuka kembali setelah diambil foto sebagai laporan pencairan dana.
Masalah lain, konsultan pengawas tidak profesional, malah diduga keras kongkalingkong dengan
rekanan sehingga cukup banyak rumah yang salah dari bestek atau mutunya sangat
mengecewakan. Seperti atap bocor, WC rusak dan daun pintu yang tidak bisa ditutup serta tiang
rumah tampak miring. Masalah lain, rekanan pelaksana telah melakukan sub pekerjaan kepada
rekanan lain secara berlapis sehingga tidak diketahui lagi siapa yang sebenarnya yang mengerjakan proyek rumah bantuan yang berselemak masalah itu.

Menangis
Asisten Menajer Asperkim Abdya, Fadli Ali dihubungi Serambi, Sabtu (1/12) menjelaskan, rumah
bantuan BRR yang dibangun dengan lokasi menyebar di Abdya berjumlah hampir seribu unit. Di
bawah kendali MK1 berjumlah 416 unit, MK 2 sebanyak 448 unit, dan di bawah kendali Regional IV (yang telah dibubarkan) berjumlah 152 unit terdiri tahap I, II dan III.
Proyek rumah bantuan itu dikerjakan sejumlah rekanan, antara lain CV Mulieng Indah membangun 100 rumah di Kecamatan Kuala Batee, sebilan unit diantaranya di Desa Pulau Kayu, Susoh. CV Bripo membangun 100 unit rumah di lokasi tersebar di Kecamatan Manggeng, CV Cot Bak Nga membangun 70 unit rumah di lokasi Kecamatan Babahrot dan CV Dwi Cipta membangun 65 unit rumah di kawasan Tangan Tangan dan CV Mita Rezeki membangun rumah di Keamatan Susoh.
Realisasi fisik yang sangat rendah rumah yang ditangani rekanan CV Mulieng Indah di Kecamatan Kuala Batee rata rata di bawah 70 persen dan PT Bripo di Keamatan Manggeng paling paling baru
sekitar 70 persen. Sedangkan rumah lokasi lain sebagian ada yang tinggal finishing (penyelesaian). Fadli Ali mengaku banyak warga penerima bantuan mengadu kepada Kantor Asperkim dan FK kecamatan tentang banyak rumah yang terbengkalai, malah ada yang menangis ketika mengadu nasib mereka. Menanggapi pengaduan warga, menurut Fadli Ali, Asperkim tidak bisa memerintah kontraktor untuk memacu pekerjaan. Karena hal yang menyangkut teknis merupakan wewenang PPK atau Satker yang bisa memerintah rekanan. Sedangkan Asperkim hanya mendata penerima dan menetapkan lokasi pembangunan rumah bantuan tersebut.
Harapan Fadli Ali kepada rekanan dapat menyelesaikan rumah bantuan sehingga bisa dimanfaatkan warga yang sangat membutuhkan.

Ditulis yang baik saja
Sementara Pejabat Pembuat Komitmen (PPK MK 2), Husni Ibrahim yang dihubungi Serambi melalui Hp pada Jumat malam (30/11) minta untuk tidak menulis namanya sebagai narasumber. Saya sudah lama menjadi pejabat, tapi saya tak mau komentar saya masuk dalam media massa, kata Husni yang mengaku kenal dengan banyak wartawan itu.
Husni minta wartawan untuk menulis yang baik baik saja. Kendati begitu, Husni sempat juga
menjawab pertanyaan Serambi, tapi diminta komentar itu untuk tidak ditulis. Menurut Husni,
kontraktor telah diperintah untuk memacu pekerjaan sehingga pihaknya optimis proyek
perumahan di bawah kendali MK 2 dapat selesai bulan Desember mendatang. Ketika ditanya
realisasi fisik masih minim, terutama rumah yang dibangun CV Mulieng Indah, Husni mengatakan,
kontraktor sudah membuat perjanjian untuk menuntaskan penyelesaian proyek pada Desember
mendatang. Sementara PPK MK 1, Saiful, tidak berhasil dihubungi. (nun)

Friday, September 5, 2008

Aecost Mitra Petani Untuk Percepatan Pembangunan Kebun Rakyat

Serambi Nanggroe : Pertanian

21/07/2007 12:27 WIB

Perkebunan Rakyat Abdya Bupati Serahkan Lima Unit Beko

[ rubrik: Serambi Nanggroe | topik: Pertanian ]

PEMBUKAAN areal perkebunan rakyat dengan komoditi kelapa sawit dan cokelat dalam areal hutan Kecamatan Kuala Batee dan Babahrot yang diprogramkan Bupati Aceh Barat Daya (Abdya), Akmal Ibrahim SH tampaknya semakin serius. Selain mengalokasi anggaran pengadaan bibit dalam APBD 2007 Rp 4 miliar, kemudian pada Kamis (19/7) sore diserahkan 5 unit alat berat jenis back hoe kepada masing-masing ketua seuneubok.

Alat berat tersebut diserahkan bupati dan Ketua DPRK, H Said Syamsul Bahri dalam sebuah acara di Desa Lama Tuha, Kuala Batee. Lima unit alat berat yang disewa Pemkab Abdya itu diserahkan kepada Zulbaidi (Ketua Seuneubok Padang Bak Jok), Zulkifli (Ketua Seuneubok Ie Jeureneh) dan Jufri AS (Ketua Seuneubok Jasa Rakan), Desa Lama Tuha, Kuala Batee serta Irwan (Ketua Seunebok Suka Damai) dan Herman (Ketua Seuneubok Suka Ramai) Desa Alue Jerjak, Kecamatan Babahrot.

Bupati Akmal menjelaskan, alat berat tersebut digunakan untuk penggalian saluran pembuang dan pembuatan badan jalan dalam lokasi areal yang sudah dipersihkan oleh ribuan petani. Tanggungjawab pengelolaan alat berat tersebut diserahkan kepada ketua Seuneubok, dimana biaya operasional, seperti honor operator dan kebutuhan minyak ditanggung Pemkab Abdya.

Realisasi pembukaan aeal perkebunan sudah terbentuk 16 seuneubok masing-masing Blang Makmur, Mate Ie Cot Manggeng, Suak Raja Demet, Arongan Meusara, Barak Dua Kuala Surien, Padang Bak Jok, Ie Jeureneh, Jasa Rakan, Suka Damai, Suka Ramai, Rantoe Panyang, Krueng Ietam Leubok Raja, Dua Sekawan Simpang Gadeng, Barak Dua Ingin Jaya, Lhueng Giri dan Barak Dua Ingin Makmue. Ke-16 seuneubok tersebut berada dalam wilayah Kecamatan Kuala Batee dan Babahrot.

Kemudian ditambah satu seunebok cik Lhueng Manggi, Desa Lama Tuha, Kuala Batee. Masing-masing seuneubok memiliki 5 sampai 9 kelompok tani (KT) dan setiap kelompok punya memiliki luas areal 100 hektar (90 hektar untuk pembukaan lahan perkebunan dan 10 hektar dicadangkan untuk kepentingan sosial). Setiap kelompok tani terdatar 45 anggota dan masing-masing mendapat jatah lahan 2 hektar untuk ditanami kelapa sawit atau cokelat.

Untuk memfalitasi persiapan lahan bagi petani, Pemkab Abdya sudah menyerahkan kepada Aceh Ecotourism society (Aecost), Direktur, Imam Sahputra dan Advisor, Fadhli Ali SE. Dalam hal ini, Aecost telah bekerja memfalitasi persiapan lahan dan ribuan warga Abdya dari kecamatan-kecamatan sedang melakukan perbersihan lahan secara besar-besar dalam wilayah hutan yang membentang sejak Kuala Batee sampai Babahrot.

Petani penggarap yang telah terdaftar dalam 93 kolompok dan masing-masing kelompok punya 45 anggota maka jumlah petani mencapai 4.185 orang (93 x 45) sehingga luas areal garapan seluruhnya mencapai 8.370 hektar, suatu jumlah tidak sedikit untuk areal perkebunan rakyat.

Mempersiapkan lahan seluas itu, sedikitnya dibutuhkan 10 unit alat berat jenis back hoe untuk menggali saluran pembuang dan pembuatan badan jalan lokasi perkebunan. Dalam hal ini sebagaimana dijelaskan Advisor Aecost, Fadhli Ali, Pemkab Abdya akan menyewa 8 unit alat berat.

Dari jumlah tersebut 5 unit sudah diserahkan kepada Ketua Seuneubok pada hari Kamis (1/7) sore dalam acara kenduri potong kerbau di Jalan IDT, Desa Lama Tuha, dan 3 unit lagi segera menyusul. Sedangkan 2 unit alat berat lagi Bupati Akmal Ibrahim telah mengupayakan bantuan dari PMI Provinsi NAD. Pembukaan lahan perkebunan rakyat komoditi sawit dan cokelat dengan membuka hutan kawasan pesisir Kuala Batee dan Babahrot merupakan sebuah terobosan besar dan cukup berani dari Bupati Akmal Ibrahim. Dia bercita-cita rakyat Abdya tidak menjadi buruh di negeri sendiri, tapi harus bisa memiliki lahan perkebunan minimal 2 hektar/KK. Makanya, diapun mempersilakan masyarakat Abdya untuk mengambil lahan 2 hektar. Syaratnya sangat mudah hanya dengan menunjuk KTP sebagai warga Abdya.

Program yang tergolong fantastis ini melaju sangat cepat. Betapa tidak, dalam APBD 2007 sudah dialokasi anggaran pengadaan bibit sawit dan cokelat mencapai Rp 4 miliar. Kemudian masing-masing seuneubok sudah mendapat bantuan awal masing-masing Rp 5 juta untuk pembangunan pondok tempat istirahat atau musyawarah petani. Kemudian BRR NAD-Nias tahun 2008 mendatang telah memprogramkan bantuan 500 ribu batang bibit sawit untuk petani Abdya.

Jalan-jalan dalam lokasi perkebunan rakyat itu juga dibangun dan dalam kawasan tersebut telah disediakan lahan 100 hektar sebagai tempat praktek Politeknik Pertanian, disamping itu telah dipersiapkan pula lahan industri 100 hektar yang berada sekitar 1,5 km dari Pantai Samudra Hindia.

Kemudian setiap kelompok dengan luas areal 100 hektar, 10 hektar diantaranya dicadangkan untuk kebutuhan sosial. Artinya di kawasan belantara dengan rawa-rawa tersebut nantinya akan menjelma sebuah kecamatan baru dengan penduduk yang memiliki areal sawit dan cokelat.
Luar bisa.(nun)

Perhatikan Kerusakan Ekologi

Pasca Banjir Bandang Di Abdya Dan Aceh Selatan: Perhatikan Kerusakan Ekologi Sekitar DAS

Waspada Online
Selasa, 8 November, 2005

Blang Pidie: Pemerintah diminta serius memperhatikan kerusakan ekologi di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) karena kondisi yang ada sekarang ini sering menjadi penyebab bencana banjir di berbagai daerah, termasuk di Aceh Barat Daya dan dan Aceh Selatan, pekan lalu.

Direktur Yayasan Aceh Ecotourism Society (Aecost) Fadhli Ali, SE kepada Waspada di Blangpidie, Senin (7/11) mengatakan banjir yang terjadi di dua kabupaten pantai barat NAD itu beberapa waktu lalu erat kaitannya dengan kerusakan ekologi.

“Pemerintah mestinya makin serius melihat permasalahan yang berkaitan dengan degradasi lingkungan dan ekosistemnya serta menyiapkan langkah kongkrit untuk mengatasi berbagai masalah dan dampak yang timbul dari kondisi DAS yang ada sekarang ini,” tegas Fadhli.

Oleh karena itu, tambah Fadhli, sebagai langkah awal pemerintah segera mengidentifikasi dan menetapkan wilayah DAS yang termasuk garis merah atau kondisi kritis. Sebagai skala prioritas utama untuk segera ditangani, jika tidak bencana banjir bakal mengancam pemukiman penduduk dan lahan pertanian di sekitarnya.

Selain itu, kata dia, permasalahan DAS juga harus menjadi perhatian Badan Rekonstruksi Dan Rehabilitasi (BRR). Lembaga itu lahir karena semangat pascagempa dan tsunami untuk membangun kembali Aceh. Sepantasnya juga BRR memperhatikan kondisi ekologi yang hancur dan kerap mengundang banjir.

Dia memberi contoh dalam kasus banjir di Aceh Barat Daya dan Aceh Selatan. DAS Babahrot dan Krueng Baru saat ini dalam kondisi kritis sehingga intensitas bencana perlu penanganan prioritas. Begitu juga DAS lainnya di dua kabupaten itu.

Fadhli mengatakan sejauh ini kegiatan penanganan masalah DAS di Aceh Barat Daya dilakukan cilet-cilet (kecil-kecilan) dan terkesan menghamburkan uang ke dalam sungai. “Belum setahun proyek pengerukan DAS selesai dikerjakan, beberapa bulan kemudian, mendangkal lagi,” ungkapnya.

Menurut dia, instansi yang menyusun program tidak merasa kapok dengan kegagalan itu. Masih saja mengalokasikan anggaran untuk pengerukan sungai tahun-tahun berikutnya.

“Akhir tahun ini agaknya proyek pengerukan sungai yang menelan biaya ratusan juta bakal lenyap dari pandangan karena dilakukan tanpa perencanaan matang,” ungkap Fadhli.

Oleh karena itu, Fadhli menegaskan penanganan masalah DAS ke depan harus lebih matang baik perencanaan maupun penentuan prioritas. Supaya kegiatan pembangunannya tidak menjadi sia-sia dan dianggap cilet-cilet.

Kecuali itu, Direktur Yayasan Aecost, selain kondisi DAS kritis, penyebab banjir erat kaitannya dengan pengelolaan hutan di sekitar aliran sungai. “Jangan tolerir terhadap eksploitasi kayu ilegal.”(cjr) (sn)